PENYEBAB ADHD
Sampai saat ini belum jelas faktor
apa yang dapat menyebabkan munculnya ADHD, meskipun banyak penelitian yang
dilakukan dalam bidang neurologi dan ilmu genetika sepertinya menunjukkan
sedikit titik terang. Banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis
sebagai penyebab ADHD, meskipun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang
juga membantu menentukan perilaku anak yang spesifik.
Studi terhadap gambar otak menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD
yang tidak berfungsi dan penyebab tidak berfungsinya bagian itu belum
diketahui, namun diduga berkaitan dengan mutasi beberapa gen. Selain faktor
genetik tersebut, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan memiliki
kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur, konsumsi
alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi,
dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim bahwa zat
aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat memunculkan
ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang akurat (Barkley,
1998; NIMH, 1999).
BAGAIMANA MENDETEKSI ANAK MENGALAMI
ADHD?
Terkadang kita melihat ada anak-anak
yang terlihat sangat aktif dan tidak memperhatikan jika belajar di kelas.
Namun, hal tersebut dapat saja merupakan sesuatu yang normal jika kita tilik
dari usia mereka. Kita dapat mengarahkan pada diagnosa ADHD jika perilaku yang
muncul tersebut sangat tidak sesuai dengan usia perkembangan mereka.
Terdapat beberapa kriteria dalam DSM-IV yang membantu kita melakukan deteksi
terhadap anak-anak dengan gangguan ADHD. Seorang anak harus menampakkan
beberapa karakteristik untuk dapat didignosa secara klinis mengalami ADHD.
Keparahan perilaku tersebut harus lebih
sering muncul pada anakè tersebut jika dibandingkan dengan
anak-anak lain dalam tahap perkembangan yang sama
paling tidak beberapa gejala uncul
sebelum usia 7 tahunèWaktu muncul
Durasi è perilaku harus sudah muncul paling tidak 6 bulan sebelum
evaluasi
èDampak gejala harus menimbulkan dampak negatif pada
kehidupan akademik dan sosial anak.
Seting gejala harus muncul pada beberapa
seting dalam kehidupan anak.è
Kriteria yang diberikan oleh DSM-IV
untuk membantu kita menegakkan diagnosa ADHD dapat kita lihat berikut ini.
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak
selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak
selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul
sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah,
atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial,
akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia,
atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental
lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).
TERAPI UNTUK PENYANDANG ADHD
Sampai saat ini belum ada obat yang
dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia beberapa pilihan tritmen yang
telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan gejala ADHD. Strategi
penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan
sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang
dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental,
dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan meliputi training perilaku untuk guru
dan orang tua, program yang sistematik untuk anak (penguatan positif dan token
economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah dan ketrampilan
sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri,
self-reinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dll) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk
cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus
diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat
dokter dan ahli farmasi yang terus-menerus melakukan evaluasi terhadap
efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani
anak dengan ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode
penanganan. Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan
bahwa kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika
digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal khususnya efektif untuk
meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang diikuti gejala
kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika
diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.
Salah satu terapi perilaku yang dapat diberikan bagi anak-anak ADHD adalah
dalam bentuk permainan, yang kemudian sering disebut terapi bermain.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI
BERMAIN BAGI ANAK ADHD
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang
ADHD memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan
karakteristik penyandang ADHD sendiri. Pada anak penyandang ADHD, terapi
bermain dapat dilakukan untuk membantu mengendalikan aktivitas yang berlebihan
(hiperaktivitas), melatih kemampuan mempertahankan perhatian pada objek
tertentu, mengembangkan ketrampilan menunggu giliran, dan mengendalikan tingkat
agresivitas. Tentu saja pemberian terapi perilaku ini akan kurang efektif tanpa
dibarengi dengan tritmen yang berupa obat-obatan yang membantu untuk mengendalikan
agresivitas, memberikan ketenangan kepada anak, dan mengurangi kecemasan.
Pada prinsipnya terapi bermain digunakan untuk menjadi media bagi anak untuk:
1. mengalihkan perhatiannya dari aktivitas yang berlebihan namun tidak
bermanfaat
2. melatih anak melakukan tugas satu persatu
3. melatih anak menunggu giliran
4. mengalihkan sasaran agresivitas.
Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pemberian terapi bermain bagi anak ADHD adalah:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan
kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktu,r dan
konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah
sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan
sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat
diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah
alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target
perilaku yang dituju.
2. Permainan yang digunakan harus dipecah-pecah menjadi komponen-komponen kecil
yang diajarkan satu persatu dengan tahap dan cara yang sama. Mereka selalu
sulit mengorganisasikan waktu sehingga kita harus membantu untuk memecah-mecah
tugas menjadi komponen-komponen kecil yang sederhana. Misalnya: acara
menggambar di bagi dalam kegiatan mengambil kertas, mengambil pensil, mengambil
crayon, dst.
3. Terapi diberikan dalam beberapa tahap, pertama dengan satu anak satu terapis
dalam tempat terapi khusus, kemudian perlahan-lahan anak akan dilibatkan dalam
permainan bersama anak lain (sebaiknya yang tidak ADHD), dan jika sudah
memungkinkan maka anak dilibatkan dalam kelompok yang lebih besar. Permainan
sosial ini harus dirancang terapis dan orang tua untuk membantu anak
mengembangkan ketrampilan bersosialisasi.
4. Terapi bagi anak penyandang ADHD tidak dapat dilakukan hanya dengan terapi
tunggal. Mengingat bahwa gangguannya berkaitan dengan sirkuit di dalam otak,
maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan terapi yang lain,
yaitu terapi farmakologi. Rencana program terapi yang dijalankan pun harus
disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan baik, begitu juga proses
evaluasinya.
5. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih
dan betul-betul mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih pada
penyandang ADHD karena menangani anak ADHD memerlukan kesabaran dan keteguhan
hati yang tinggi. Jika pada anak non ADHD target perubahan perilaku yang dibuat
mungkin dapat dicapai dengan cepat dan lebih mudah, maka bagi penyandang ADHD
untuk mengendalikan perilaku mereka saja mungkin sulit.
6. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya
kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam
pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer
ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan
ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
7. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk
berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak ADHD hal ini justru akan digunakan
untuk memperkenalkan aturan-aturan dan mengendalikan perilaku
8. Terapi bermain bagi penyandang ADHD dapat ditujukan untuk
meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri,
dan menghilangkan perilaku berlebihan yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat
dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya
tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan
alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat
bermain yang dapat digunakan maka diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan
agresivitas yang muncul, juga jika anak sering berlarian tak bertujuan.
Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti menyusun balok juga akan
membantu anak mengenal urutan dan membantu mengembangkan ketrampilan motorik.
Demikianlah beberapa hal yang
menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi bermain bagi anak ADHD.
Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain adalah salah satu alternatif
saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah dikembangkan bagi anak
ADHD dan selalu dilakukan bersamaan dengan tritmrn yang lain. Masukan dan
kritik bagi makalah ini sangat diharapkan demi proses belajar saya dan
perbaikan ke depan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed.
Washington DC: The American Psychiatric Association
Barkley, R.A. 1998.
Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific American, 279:3.
Barkley, R.A. 1997. Behavioral
inhibition, sustained attention, & executive functions: constructing a
unifying theory of ADHD. Psychological Bulletin, 121:1, 65-94
Budiman, M., 1997. Tata Laksana
Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme oleh Yayasan Autisme
Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan
Caldera, Y.M., et al., 1999.
Children ‘s Play Preferences, Construction Play with Blocks, and Visual-Spatial
Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental
Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.
Coplan, R.J, et al., 2004. Do You
“want “ to Play? Distinguishing Between Conflicted Shyness and Social
Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior Developmental
Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.
Hartini, N., 2004. Pola Permainan
Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak, Anima, Vol. 19, No. 3,
271-285
Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal
Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies. Inc.
International Association for Play
Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org
Landreth, G.L., 2001, Innovations in
Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations, Philadelphia,
Brounner-Routledge
Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan
Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in Toddlers. International
Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289-302.
McConnell, R.S., 2002. Interventions
to Facilitate Social Interaction for Young Children with Autism: Review of
Available Research and Recommendations for Educational Intervention and Future
Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5,
October 2002, 351-372
National Institute of Mental Health
(NIMH), 1999. Questions and Answers. NIMH Multimodal Treatment Study of
Children with ADHD. Bethesda, MD: NIMH
Openheim, D. 1997. The Attachment
Doll-Play Interview for Preschoolers. International Journal of Behavior
Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.
Schaefer,C.E., Gitlin, K, &
Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John Wiley &
Sons
Sugiarto, S, Prambahan, D.S., &
Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap Kemampuan Berinteraksi
Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270
Sukmaningrum, E., 2001, Terapi
Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma pada Anak, Jurnal
Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23
sumber : http://klinis.wordpress.com/2007/08/30/penerapan-terapi-bermain-bagi-penyandang-adhd-3/